Pada Suatu Sore

Sore itu sekitar jam 3-an aku sedang keliling kota naek sepeda motor. Itu hari biasa lho, bukan weekend.

Pasti kalian bertanya-tanya, ini orang kerja apa nggak. Iya itu aku lagi kerja kok. Sebagai orang kaya, kerjaanku emang cuma tinggal muter-muter kota, foya-foya, bagi-bagi sumbangan, semacam itu lah. Bosan sih, tapi mau bagaimana lagi, aku terlanjur kaya. Suatu hari nanti kalo kalian sudah kaya, pasti akan mengerti juga.

Oke lanjut.

Itu ceritanya di jalan Pemuda Semarang, di sekitar Balai Kota. Ada pak polisi beberapa gitu, lagi standby. “Kok ada polisi-polisi gini,” begitu kataku dari dalam helmku. Aku sudah bersiap menyerahkan diri, biar bisa ditangkap untuk kemudian kirim SMS “lagi di kantor polisi, tolong kirimin pulsa”. Tapi ternyata para polisi itu standby untuk alasan lain.

Ternyata ada mahasiswa lagi demo!

Pasti mereka sedang demo soal BBM. Demo karena BBM suka lemot, suka pending. Semacam itu lah.

Yang demo ada sekitar 8-10 orang, ada yang teriak-teriak pake corong 1 orang. Oh, dia ini pasti MC-nya. Sisanya bawa spanduk sama berdiri khidmat di sekitar sang MC. Semua telanjang dada, telanjang perut juga. Hebat ya mereka berani buka aurat di pinggir jalan. Demi rakyat!

Spanduk mereka bertuliskan “ANAS – Aliansi Nasional Anti SBY”.

Nasional cuy!

Berarti seharusnya, di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, setidaknya di setiap propinsi, ada gerakan 8-10 orang pemuda telanjang dada, berdiri di pinggir jalan, teriak-teriak, di bawah bendera spanduk ANAS. Demi rakyat!

Itu baru Aliansi Nasional.

Nyinyir lu! Pasti begitu kata kalian kepadaku yang tukang cela ini.

Gini lho, bukannya aku tidak setuju dengan kepedulian mahasiswa yang rela turun ke jalan gitu. Juga bukan berarti aku pro kenaikan harga BBM atau pro-SBY (bukan yang kontra juga sih). Bukan dari sudut pandang itu aku berbicara.

Sekarang coba pikir nih ya, efek apa sih yang bisa didapat dari aksi demo tersebut?

Didengarkan oleh SBY? Boro-boro SBY, pejabat yang ngantor di Balai Kota situ aja belum tentu pada (mau) dengar.

Misal didengar pun, apakah itu akan mengubah keputusan soal kenaikan harga BBM? Well…

Menyuarakan penderitaan rakyat? Hmm, okeey, trus apa? Setelah kita suarakan, apakah setidaknya penderitaan mereka berkurang?

Itu aku dengan sudut pandang skeptis-ku.

Oke, trus kalo menurut kamu sendiri mesti gimana? Pasti begitu kata kalian kepadaku yang tukang komentar ini.

Hmm, gak tahu juga sih sebenernya mesti gimana yang paling tepat. Cuma menurutku pribadi, daripada habis waktu dan tenaga untuk demo yang hasilnya belom tentu ada gitu, mending buat belajar aja. Buat kuliah biar pinter. Biar cepet lulus. Trus?

Kalo emang jago hukum ya jadi pembela rakyat kecil yang butuh bantuan hukum, biar gak ditipu melulu.

Kalo emang jago ekonomi ato marketing ya buka usaha sendiri, bikin lapangan kerja.

Kalo emang jago jadi karyawan swasta ya jadilah karyawan swasta yang berdaya-guna dan bisa berbagi pada sesama.

Kalo emang jago jadi PNS ya jadilah PNS yang baik, yang kerja, yang gak tiduran ato fesbuk-an di kantor, ato cabut ke mal, yang mau memajukan Negara.

Dan lainnya dan sebagainya.

Dikira gampang? Susah! Banget! Tapi setidaknya akan lebih berdampak.

Daripada terus menerus berbusa-busa mengkritik dan mengomentari generasi penguasa sekarang yang sudah terlanjur rusak, mending kita belajar dan bersiap-siap untuk menjadi generasi yang lebih baik, yang akan menggantikan mereka. Dalam waktu dekat. Demi rakyat.

Itu aku dan sudut pandang naif-ku. Terserah bagaimana kamu.

By the way, tetep salut deh sama mereka, bisa demo tanpa kekerasan 🙂

.

Lalu aku dan motorku pun melaju melewati kerumunan kecil itu, menuju ke arah mentari terbenam, dan bersiap-siap menyejahterakan Indonesia.

2 pemikiran pada “Pada Suatu Sore

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s