Pagi itu hari Sabtu, tepat setelah kejadian aku isi bensin dengan uang palsu (lebih jelasnya baca di Balada Kepalsuan), aku dan motorku melanjutkan perjalanan ke daerah Kaligawe Semarang.
Tanpa sengaja – sekali lagi tanpa sengaja – motorku masuk jalur cepat yang seharusnya khusus untuk mobil.
Ngeeenggg.
Dan ketika aku menyadari kesalahanku itu, semuanya sudah terlambat. Bagai nasi sudah menjadi bubur. Bagai sperma dan ovum telah menjadi bayi. Bagai Syahrini telah menjadi sesuatu…
Sesosok pak polisi gagah berani sudah berdiri di depanku, mencegat laju motorku. “Stop! Berhenti!!”
Ah, sialan, kataku. Tapi dalam hati aja. Pasti si pak polisi gak denger. Sukurin.
“Adek tau kesalahan Adek??”
Oh, dia panggil aku adek! Apakah ternyata dia kakakku yang lama hilang? Bukan ding, ga mirip.
“Tau Pak”
“Adek baru saja melewati jalur cepat!”
“Iya Pak, maaf Pak, saya ndak sengaja,” sahutku dengan wajah memelas, tapi percuma, soalnya masih ketutupan helm.
“Surat-surat ada?”
Yeee, uda gak jaman surat-suratan kali Pak, sekarang pada pake email. Ini aku berani ngomong gitu cuma di blog ini aja. Adegan aslinya sih langsung nyerahin SIM dan STNK sambil nurut digiring ke pos polisi.
Di dalam ruangan ada pak polisi satu lagi yang kayaknya lebih senior. Pintu pun lalu ditutup oleh pak polisi yang pertama, meninggalkan aku dengan pak polisi senior. Hanya berdua saja, aku dan pak polisi senior. Ah. Sayang sekali yang nilang bukan polwan. Kalo iya pasti kisah ini sudah kuposting di situs lain, masuk kategori ‘Setengah Baya’.
“Adek tau kesalahan Adek?” tanya si polisi senior. Lah, dipanggil adek lagi. Kayaknya ‘adek’ itu emang sapaan standar prosedur di kepolisian deh. Mungkin karena aku masih muda. Kalo yang ngelanggar uda agak tua-an mungkin dipanggilnya jadi ‘kakak’ gitu. Semacam, “Boleh kakaak, SIM-STNK-nya kakakk…”
Idihh.
Oke cukup ngelanturnya.
Maka kemudian aku pun menjawab, “Tau Pak, tadi lewat jalur cepat”
“Yak. Jadi Adek saya tilang ya,” katanya sambil mulai menulis di buku tilangnya.
Nah! Ini dia! Adakah di antara kalian yang uda pernah denger kisah (nyata?) kepahlawanan seorang supir taksi yang meminta slip biru ketika ditilang polisi? Aku sih dulu dapetnya dari broadcast message Blackberry. Singkat ceritanya sih, si supir taksi ditilang, trus dikasih slip tilang warna merah. Tapi si supir taksi minta slip warna biru. Si polisinya ngeyel dan memaksa si supir terima slip merah. Akhirnya setelah sedikit kericuhan, si polisi dengan berat hati memberikan slip biru. Intinya, kata si supir taksi di cerita itu, kalo kita menerima slip merah berarti kita mau membela diri di pengadilan (dengan kata lain ikut sidang dengan segala keribetan dan per-calo-annya). Sedangkan kalo kita minta slip biru berarti kita mengakui kesalahan kita dan bisa langsung membayar denda via setoran ke bank (dengan jumlah nominal Rp 30.600,- di cerita itu, murah kan? Jauh lebih murah dari ‘damai’). Selain lebih murah, uang dendanya langsung masuk ke kas negara kita tercinta, jadi gak bakal dikorupsi sama polisinya.
(Bagi yang mau tahu kisah komplitnya si supir taksi bisa baca di sini.)
Maka dengan bermodalkan pengetahuan yang aku dapat dari broadcast-an belaka itu, aku dengan khidmat bersabda kepada pak polisi.
“Ehmm, minta slip birunya aja Pak”
Yess!! Sumpah itu aku ngomong gitu sambil menahan senyum. Senyuman kemenangan. Fu-fu-fu.. Aku setengah berharap si pak polisi akan berdebat begini dan begitu, memaksaku menerima slip merah. Lalu aku aku akan mendebatnya dengan lihai bagaikan si supir taksi di cerita tadi. Lalu ternyata…
“Oh oke. Ini slip birunya, silakan ditanda-tangan, nanti dendanya dibayar di BRI”
Lah? Gitu doang? Gak seru ah.
Aku uda siap-siap mau tanda tangan ketika melihat nominal yang harus disetorkan ke BRI itu.
Limaratusriburupiah.
Eh?
LIMARATUSRIBU RUPIAH!! SETENGAH JUTA!!!
Busett!! Ini bener-bener di luar skenario!!
“Loh Pak? Kok 500 ribu pak??”
“Loh Adek ini gimana? Bukannya uda paham tentang slip biru? Hmm??” jawab si bapak dengan menahan senyum. Senyuman kemenangan. Anjirrrr!!! Malah aku yang dipecundangi gini, bagai atlet Thomas Cup.
“Kemaren temen saya cuma 30 ribu pak? Pake slip biru juga gitu,” kataku ngasal.
“Nih dibaca,” katanya sambil menunjuk surat tilang warna biru itu.
‘…. membayar denda maksimal senilai (angka 500 ribu dicentang di sini) … dengan menyetorkan ke Bank …. ‘
Aku diem. Melongo.
“Trus baca nih,” di belakang buku tilang ada semacam list undang-undang lalu lintas gitu.
‘…. melanggar marka jalan, denda maksimal senilai 500 ribu …’
Aku masih diem. Melongo juga masih.
“Nahh, untuk slip biru yang dibayar itu adalah denda maksimalnya. Trus Adek tadi masuk jalur cepat. Itu termasuknya melanggar marka jalan dan denda maksimalnya 500 ribu…”
“Sek, sek.. Sebentar pak, pinjem bukunya,” aku mulai gugup. Hilang sudah rasa percaya diri dan ketampananku. Aku bolak balik halaman belakang yang isinya undang-undang tadi, berharap ada yang bisa aku perdebatkan. Tapi tidak ada.
Lalu si pak polisi menjelaskan, kalo slip biru itu berarti kita mengakui kesalahan dan tidak ikut sidang. Denda yang disetor ke bank adalah nilai denda maksimal yang tertera di undang-undang untuk pelanggaran yang bersangkutan. Setoran ini berlaku sebagai deposit. Nah, nanti berdasarkan keputusan sidang (yang tidak kita hadiri itu) akan diputuskan kita kena denda berapa. Kalo emang nilainya gak sampe 500 ribu, ya duit sisanya diambil kembali dari bank sambil menunjukkan bukti setoran awal dan berkas keputusan sidang. Dengan kata lain, uang kita itu ngendon di bank sampe hasil sidang keluar. Abis itu masih harus ngurus balik surat-surat kita yang ditahan di kepolisan. Ah, ribet deh pokoknya. Dan yang jelas jauh berbeda dari kisah si supir taksi tadi. Asem tenan.
“Ohh, ya udah Pak, slip merah aja, sidang aja,” aku pun pasrah.
“Lha yaa… Makanya jangan asal minta slip biru,” kata si pak polisi, lagi-lagi pasti dia sambil menahan senyum. Senyuman kemenangan. Huhuhu…
Slip merah pun aku tanda tangani. SIM C yang aku peroleh dengan susah payah nembak itu pun ditahan.
Ya sudahlah.
Ambil sisi positifnya aja. Kalo ikut sidang kan bisa jadi pengalaman. Nanti bisa diceritain ke anak-cucu, bahwa dulu aku pernah disidang di pengadilan, kayak di film-film. Aku juga udah siap-siap broadcast message ke temen-temen untuk menghadiri dan menyemangati aku di persidangan nanti. Namun oh namun, ketika aku perhatiin, tanggal sidangnya itu bertepatan sama jadwal training di kantor. Aihhh….
“Walah Pak, kalo tanggal segini saya gak bisa. Gimana Pak?”
“Ya nanti kamu tebus SIM-mu di kantor Polsek Semarang Barat, paling besok Senin berkasnya uda disana. Kamu tebus disana aja kalo gak mau sidang. Nanti bayar dendanya di sana.”
Aihhh…. Ya sudahlah.
Aku pun berpamitan kepada pak polisi senior dan pak polisi satunya, cium tangan, lalu kembali melaju di jalan dengan sendu, dengan dompet yang terasa ringan karena gak ada SIM nya.
Ngeeenggg.
ngakak :
“Iya Pak, maaf Pak, saya ndak sengaja,” sahutku dengan wajah memelas, tapi percuma, soalnya masih ketutupan helm.
=D