K for Karimunjawa #2: Goodnight Island

Yak inilah bagian kedua dari entah berapa bagian petualanganku dan teman-teman di Karimunjawa (yang belum baca bagian #1 bisa baca di sini). Nah, silakan melanjutkan…

Sore itu semua penumpang kapal mendarat di Karimunjawa dengan lega karena jam-jam perjalanan penuh derita itu telah berlalu. Namun segurat pucat dan lemas masih terbayang di wajah mereka. Biarin lah, tak perlu kau kasihani. Sebentar lagi juga pasti udah pada foto-foto narsis di dermaga, di gerbang Karimunjawa, trus ceria lagi.

Oya, habis pada baca K for Karimunjawa #1 jangan sampe jadi enggan ke Karimunjawa cuma gara-gara perjalanannya ya! Mungkin aku emang naek transport yang kurang tepat di waktu yang kurang tepat (secara lagi musim liburan sekolah gitu). Alhasil perjalanan berangkatnya jadi gak nyaman sama sekali. Tapi kalo misal kalian berangkat di musim bukan liburan sekolah (misal pas musim layangan ato musim kawinan) niscaya gak akan separah itu. Trus juga masih ada alternatif transport yang lain juga. Misal kalian bisa pilih naek kapal ekspress, cuma makan waktu 2-3 jam dari Jepara plus tempat penumpang yang jauh lebih nyaman. Ato bisa juga naik kapal dari Tanjung Mas Semarang langsung ke Karimun, kalo gak salah sekitar 4 jam. Ato bisa juga naek lumba-lumba yang disediakan Pemda Jepara…

Oke, kembali ke topik. Di Karimunjawa ini kami akan menginap di rumah-rumah penduduk setempat. Semacam homestay gitu lah. Memang di Karimunjawa ini beberapa penduduk yang rumahnya cukup besar menyewakan rumah mereka untuk turis, biasanya untuk turis tipe backpacker sih, kalo turis kaya mah nginep di hotel aja. Rata-rata menyediakan 3-4 kamar, jadi setiap rumah bisa muat sekitar belasan orang. Rombongan kami yang 90-an orang itu pun dibagi-bagi ke beberapa rumah penduduk.

Kami lalu pergi dengan berjalan kaki ke rumah masing-masing. Memang jarak dari dermaga ke rumah-homestay tidak terlalu jauh, kira-kira kalo jalan biasa ya 15 menit-an lah. Kalo jalan cepat mungkin bisa 11 menit. Kalo lari sprint kira-kira 6 menit. Kalo sambil koprol, nah, aku belum pernah nyobain, jadi gak tau berapa lama. Lain kali deh pas kesini lagi.

Aku, Yohan, dan beberapa teman kebagian tinggal di rumah penduduk yang bernama Pak Gatot. Bersamanya tinggal pula istrinya si Bu Gatot dan anak-anak mereka (kurang jelas jumlahnya berapa, yang jelas melebihi kuota Keluarga Berencana). Nah, tiap hari selama kami tinggal di sana, Bu Gatot inilah yang akan masak-memasak untuk makanan kami (yak, paket tur kami emang meliputi fasilitas 2x makan di rumah homestay masing-masing: untuk sarapan dan makan malam, sedangkan untuk makan siang biasanya makan BBQ di luar pas trip sekalian).

Kami jarang ketemu sama si pak Gatot karena dia lebih sering berada di tempatnya sendiri, di rumah bagian samping. Pasti dia orangnya pemalu, tipikal melankolik-plegmatik gitu. Yang sering berinteraksi dengan kami justru Bu Gatot. Dia suka nyamperin kami, ngajak ngobrol ngalor-ngidul, ngasih motivasi, nawarin asuransi, nawarin MLM, dsb (gak ding boong), seperti misalnya sore itu, saat kami baru dateng.

“Rombongan dari mana ini mas?” tanya si Ibu Gatot ke aku dan Yohan. Kami kebetulan lagi di ruang keluarga duduk-duduk, sementara yang lain lagi mandi ato beberes di kamar.

“Dari Semarang Bu,” aku jawab sopan santun. “Kalo Ibu aslinya emang dari Karimun ya?” gantian aku yang tanya.

“Oo ndak mas, nek Ibu sih aslinya Jepara”

“Oalah, kalo ini si mas-nya malah aslinya wong Karimun sini Bu,” kataku sambil menunjuk si Yohan. Yohan manggut-manggut aja, padahal aslinya dari Pati. Dasar penipu dia.

“Oya tho??” si ibu mendadak langsung antusias gitu, “lahirnya di Karimunjawa sini mas??”

“Iya Bu,” itu masih aku yang ngejawab aja, sementara si Yohan lagi makan apaa gitu, lupa. “Dia lahirnya di Kapuran,” lanjutku menambahkan. Kapuran itu nama salah satu kampung di Karimunjawa sini. Aku taunya juga barusan, karena gak sengaja liat di papan petunjuk jalan pas kesini tadi. Asal sebut aja, padahal aslinya gak tau.

“Wooalahh, ya ampunnn, ya deket banget tho mas Kapuran kuwi, tinggal munggah mrono thok” takzim banget si Ibu Gatot.

Ndak, ndak, Bu, saya asline Pati kok…” Si Yohan akhirnya gak tega dan mengakui dustanya.

“Iya, sekarang emang di Pati” aku nyamber dengan kalem. “Tapi dulu dia lahir di Kapuran sini, pas bayi dibuang di dermaga, dibungkus kantong kresek. Trus dipungut sama wisatawan dari Pati, ya trus diadopsi gitu Bu. Kasihan. Ini dia kesini mau cari orang tua kandungnya…”

“Oooo…. ” si Ibu Gatot entah mo bilang apa. Makin takzim dia.

Si Yohan geleng-geleng. “Wong edian!

*****

Malam di hari pertama itu tidak ada agenda apa-apa dari agen travel kami. Besok baru mulai tur. Jadi kami jalan-jalan aja sendiri ke alun-alun Karimunjawa. Jangan dibayangin alun-alun ini kayak Simpang Lima di Semarang, ato kayak Monas di Jakarta. Jauh! Ini sih cuma kayak lapangan gitu aja, trus di sekelilingnya ada warung-warung jualan makan-makanan. Ada warung bakso ikan ekor kuning, warung siomay, warung ikan bakar, warung es pisang ijo, dan warung Bu Ester (maksudnya ‘warung milik Bu Ester’, bukan ‘warung yang menjual Bu Ester’, dasar kalian pembaca berfikiran kotor). Macem-macem lah pokoknya. Turis-turis lain yang tadi siang kulihat di kapal juga pada maen kesini. Rame! Aku bersama beberapa teman akhirnya makan bakso ikan ekor kuning itu. Baksonya rasanya biasa aja sih, tapi bolehlah dicoba kalo pas kesini.

Dari sudut alun-alun sebelah sana terdengar suara musik dangdut, diputer keras-keras entah dari mana untuk menghibur kami semua. Lalu di tengah lapangan, beberapa anak warga setempat tampak sedang mainan mercon, mungkin mereka kira besok udah Lebaran. Rupanya inilah hiburan malam sekaligus pusat keramaian di pulau ini. Muda mudi sini kalo malem-mingguan pacaran pasti juga ke siniii mulu. Kebayang deh kalo mereka lagi nostalgia:

“Sayang, kamu masih inget gak kita nge-date berdua pertama kali kemana?”

“Masih inget dong sayang, ke alun-alun kan :)”

“Hebattt, masih inget lho, padahal kan uda lama banget. Hmm, kalo pas kamu nembak aku itu, inget gak dimana?”

“Ooo tentu saja dong say, di alun-alun kan :)”

“Hihi, betul say. Terakhir nih, kalo perayaaan jadian kita yang ke 17 bulan dimana coba?” *ceritanya ini tipe yang suka ngrayain jadian tiap bulan, kayak tagihan kartu kredit*

“Hmm, sebentar aku inget-ingett…… di alun-alun sayaangg! :)”

“Waaoww, kamu masih inget semua kenangan itu?! Jadi makin cinta deh sama kamu!”

Dan kemudian mereka pun menikah di alun-alun situ juga…

*****

Oya, satu hal yang penting: listrik di Karimunjawa ini terbatas! Karena sumber listriknya pake tenaga diesel. Jadi kalo pagi sampe sore (sekitar 6 pagi sampe 6 sore) listrik se-pulau mati (kecuali kalo kalian tinggal di hotel). Trus di pulau ini jalanannya di malam hari juga bisa dibilang gelap karena jarang ada lampu penerang jalan, hanya mengandalkan lampu dari rumah-rumah di kiri-kanan. Jalanan-nya juga masih model jalanan perkampungan yang agak sepi gitu. Makanya kalo ke Karimunjawa mendingan banyakan orang deh, biar jalan kemana-mana bisa bareng rame-ramean. Jadi ngebayangin kasian juga kalo ada jomblo sendirian backpacker-an ke sini gitu. Mungkin malam pertama dia udah gak kuat trus nyeburin diri ke laut sambil nyanyi aku tanpamu butiran debu…

Tapi heran deh ya. Karimunjawa kan uda terkenal sebagai tujuan wisata. Kenapa gak digarap dengan baik sarana-prasarananya. Paling gak listriknya nyala aja seharian. Apa mungkin justru suasana perkampungan alami gini yang mau dijual ke turis asing? Hmm, mungkin juga sih. Biar bule-bule bisa liat, ooo ini toh penduduk Indonesia yang masih primitif itu, ooo liat itu ada suku pedalaman bikin api pake batu, ooo itu mereka lagi berburu mammoth, ooo….

Gak tau juga sih sebenernya. Namun satu hal yang bisa aku syukuri dari kegelapan ini: bintang-bintang jadi keliatan terang benderang berkelap-kelip, bertaburan bagai ketombe di langit malam. Ah, indahnya. Bulannya juga walau bukan purnama tapi terlihat bersinar terang. Sumpah, bukannya lebay! Pantesan ada lagu anak-anak jaman dulu yang bilang “terang bulan, terang bagaikan siang”. Kita semua, generasi elektronik abad 21, mungkin tidak akan bisa merasakan “terang bulan, terang bagaikan siang” itu karena telah dibutakan oleh gemerlapnya lampu kota dan mal-mal megah itu.. karena kita terlalu sibuk menunduk ke bawah menatap gadget canggih yang sudah menjadi separuh nyawa kita, hingga kadang lupa menengadah ke atas untuk sekedar menatap langit..

Hmm.

Akhirnya jadi inget kamu juga yang jauh di sana, berharap seandainya kamu di sini juga. Nanti lah ya kapan-kapan pas udah nikah kita ke sini berdua. Sementara malam ini kukirimkan rindu ini untukmu, lewat angin malam yang sembribit ini. Bawaannya jadi pengen nyanyi ‘Dear God‘-nya Avenged Sevenfold deh. Nanti lah di Jawa pas karaoke-an.


Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I’m not around
when I’m much too far away

Ah, selamat malam Karimunjawa.

Selamat malam hei kamu.

Marilah tidur untuk acara esok pagi. Sampai jumpa.

~to be continued, pretty soon~

3 pemikiran pada “K for Karimunjawa #2: Goodnight Island

  1. Ping balik: K for Karimunjawa #3: Ini Baru Musim Panas! « ohmasgusman

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s