Helm Basah dan Hal-hal Lainnya yang Ada di Kepalaku

Kemaren siang aku ada rapat, urusan bisnis di sekitar daerah Rasuna Said.

Karena rapatnya di dalam gedung, otomatis sepeda motor kebanggaanku si Belalang Tempur haruslah diparkir di luar, di tempat parkir itu. Iya, haruslah begitu. Lagian sepeda motor mana bisa masuk gedung dan lolos dari mesin metal detector di pintu masuknya sih. Pasti nanti bunyi alatnya. Kemudian “Eeeaaa… bawa apa eeaaa,” begitu nanti kata satpam yang jaganya.
Ya sudah, daripada menimbulkan hingar bingar yang tidak perlu biarlah ia di luar, di tempat parkir. Bagaikan pacar yang tidak diakui.

Dan kebetulan tempat parkirnya itu di outdoor.

Dan kebetulan kemaren siang di Jakarta hujan deras.

Dan kebetulan helmku yang aku kaitkan di jok motor itu dalam kondisi menghadap ke atas, ke langit. Itu karena aku tidak curiga sama sekali bahwa akan turun hujan. Asem.

Maka ia bagaikan tangan yang menengadah ke atas memohon berkat. Jadilah helmku itu tergenang air ketika aku pulang dari rapat sore kemarin. Byurrr. Segera kubuang airnya ke helm di motor sebelah. Bagi-bagi apes lah, supaya ia bisa segera menyalurkannya ke helm di sebelahnya juga.

Gak ding. Boong lah. Kamu pikir aku setega itu? Kau pikir aku lumpur lapindo?

Airnya kubuang ke tempat yang aman, yang tidak mencederai sesama. Byurrr.

Helmku pun jadi basah, seperti mimpi anak lelaki yang akil balig. Sungguh tidak nyaman dipakai di kepala. Tapi ya sudah mau gimana lagi, yang penting segera pulang supaya tidak masuk angin kepalaku. Nanti kerokannya gimana coba kalo masuk angin di kepala? Dikira blewah apa.

Eh tapi tidak bisa segera pulang dulu ding. Masih harus jemput kekasihku sayang yang sedang ada di sekitar Rasuna Said juga. Oh, itulah dia ketika kujemput. Dengan make-upnya yang minimal dan kecantikannya yang maksimal. Padahal itu sudah jam 18.30 WIB, dimana manusia Jakarta pada umumnya sudah porak poranda wujudnya. Dia yang nampak kecil dengan tas punggungnya yang besar karena berisi laptop dan payung lipat dan charger dan macam-macam lainnya. Bagaikan keong. Keong emas. Emas Gusman. Udah ah. Cukup ngelanturnya, marilah kami pulang.

Dan kamu tahu? Hujan pun turun lagi malamnya, mengiringi kepulangan kami berdua ke kos.

Untunglah sudah kami proteksi dengan memakai jas hujan. Oya, itu jas hujannya yang two-piece ya, yang formatnya baju dan celana itu lho. Soalnya kalo pake yang jas hujan ponco itu tidak dianjurkan oleh TMCPoldaMetro. Kenapa ya? Katanya sih bahaya. Padahal jas hujan ponco itu adalah jas hujan yang baik pada prinsipnya.

ponco

Kalo jas hujan two-piece kan egois. Hanya bisa dipakai untuk satu orang. Kecuali kalian rela berbagi dan masing-masing orang jadi basah setengah-setengah.

Lain halnya jas hujan ponco yang bisa dipakai dua orang bersama-sama. Aku jadi ingat masa itu, ketika masih kecil diboncengin papi naek sepeda motor pake jas hujan ponco. Aku bersembunyi di belakang, hinggap di punggung papi, di dalam jas hujan ponco, bagaikan pemain barongsai. Itu seru sekali tahu. Kita yang di belakang tidak tahu sudah sampai mana, hanya bisa menebak-nebak dari jalanan yang keliatan di bawah kaki. Sedikit-sedikit tanya, “Ini sudah sampe mana Pi?” yang terus saja dijawab dengan sabar oleh Papi. Coba kalo nanti anakku yang tanya-tanya gitu. Pasti uda aku suruh gantian dia aja yang nyetir daripada tanya mulu. Dikira gampang nyetir motor hujan-hujan sambil update lokasi terus gitu.

Eh ini kok malah bahas jas hujan ya. Ayo pulang ah.

Tapi itu sedang macet juga. Dan macetnya kemarin itu sungguh sinting abis. Padahal itu naek motor lho aku. Masih bisa stuck juga. Apalagi kalo naek mobil. Apalagi kalo naek truk. Apalagi kalo naek Godzilla. Walah.

Begitulah Jakarta ketika jam pulang kantor memutuskan untuk berduet dengan hujan. Coba itu berapa banyak bahan bakar fosil yang dibuang dalam suatu sore yang hujan di Jakarta? Mungkin satu keluarga dinosaurus abis juga itu. Pasti mereka menangis diam-diam dalam tangki bensin kalian.

Anyway.

Kadang aku mikir. Kalo misal aku orang yang cukup kaya, kemudian aku bekerja sama dengan beberapa orang kaya lainnya. Masing-masing dari kami menyewa 10 biji truk tronton lah, bis lah, mobil lah, apa lah beserta supirnya. Kemudian kami turunkan semuanya itu ke jalanan Jakarta secara sporadis. Kami suruh jalan pelan-pelan. Kami suruh ganti ban. Kami suruh mogok. Kami suruh ngetem yang lama. Kami suruh mengemudi segoblok mungkin.

Dengan kata lain, kemacetan yang direkayasa secara sistematis.

Agar apa?

Mungkin agar warga Jakarta menjadi tidak produktif, yang dampaknya adalah penurunan potensi ekonomi yang cukup drastis.

Atau agar kami bisa berkata ke orang yang sedang kami incar popularitasnya, “Ini lihat, setelah kamu urusin, Jakarta jadi kecepatannya 5 km per jam saja! Asu!”.

Atau tujuan-tujuan jahat lainnya.

Menurutmu mungkinkah itu semua terjadi?

Aku rasa tidak mungkin lah. Mana mungkin ada manusia yang berhati nurani tega melakukan itu. Kecuali binatang.

Hmm, sudahlah tidak usah dibicarakan lagi daripada kalian menjadi suudzon.

Mari kita bicarakan sisi positifnya saja dari hujan hari kemarin itu. Bahwa sebenarnya dua hari sebelumnya, aku sudah berencana mau mencuci sepeda motorku. Maksudnya mencucikan. Pake tenaga outsource, tentu saja. Hari gini nyuci motor sendiri? Kecuali aku sedang kampanye pencitraan tentu saja aku ogah. Hih. Ya tapi karena aku malas, akhirnya batal cuci motor. Ternyata? Kamu lihat sendiri jadinya hujan kan. Itu pasti kotor lagi kena becek, padahal habis dicuci. Rugi delapanribu. Untung belum.

Ya namanya rejeki orang sudah diatur masing-masing.

Atau mungkin hujan ini justru adalah doa dari sepeda motorku yang ingin dibasahi? Tega amat. Tapi bisa jadi, kan sepeda motor tidak punya hati nurani. Cuma karena ingin dibasahi, ia membuat satu Jakarta kena hujan deras dan semrawut.

Makanya.

Maaf ya Jakarta, sepeda motorku telah membuatmu macet.

.

.

Dan aku pun sampai ke kos dalam kondisi basah kedinginan dan tidak nafsu melakukan apapun kecuali makan mie kuah hangat. Malam kemarin di kamarku pun diwarnai dengan suara hair dryer yang aku pinjam dari si Gondrong demi berusaha mengeringkan helm basahku.

helm basah

Ngenggg…

6 pemikiran pada “Helm Basah dan Hal-hal Lainnya yang Ada di Kepalaku

  1. Gusssss….. sumpah ga kebayang pake helm dlm keadaan basah! Buahahahaaha……
    Kok ya bisa helmnya ngadep keatas…seakan pasrah ya gus….eh tapi aku masih pake jas ujan yg one piece. Trus klo kebagian dibonceng pake jas ujan 1 piece ntar nanya2 mulu dah dimana… cuma bisa nebak2… aku masih pake yg 1 piece..pdhl bahaya ya.
    Speaking of 1 or 2 pieces…. justru yang 2 pieces itu yg bahaya gusss… kalo kaegori baju renang or bikini sih… LoL *awas ngebayangin bikini 2 pieces* :))) #aposehhh

    • hahahaha… iya nih, sebagai pengingat bahwa kita harus selalu berkepala dingin…
      anyway, segeralah ganti jas hujan Anda dengan yang 2 pieces, takutnya dimarahi pak TMCPoldaMetro… tapi jangan ganti jadi baju renang juga kaleee :)))

  2. Janagn khawatir bro kalo soal helm basah.. Akupun sering ngalami.
    Btw kenapa nggak pake plastik kresek dulu di kepala? Gw selalu siap sedia kalo udah kejadian begitu hehehehe..

    Eniwei, udah expand ke Kuningan nih yey — nggak duduk diem di Kebon Jeruk aje. Mantab brohhh 😀

    • walah, berasa belanjaan indomaret dong kalo diplastikin gitu.. wkwkwk…
      iya dong, blusukannya jangan di Kebon Jeruk aja, jadi rakyat Kuningan bisa merasakan kinerja Mas Gusman juga 😀

  3. Sempet-sempet e dikei minion wkwkwkwk…
    He e, jadi nostalgia jaman cilik yo… aku yo ngalami kwi…wakakakakak… anak2 generasi 90 an emang jos (mksd e sing ngalami masa kecil di 90an)…
    At least nyonyah wes dicicipi pengalaman hidup susah bersama… baik bagi masa depan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s