Makan Malam Bersama Kawan

Itu kejadiannya sudah satu bulan yang lalu sih.

Sekitar akhir Agustus kemarin ketika aku abis gajian. Maka aku pun mengadakan acara makan malam bersama sanak saudaraku dalam rangka sedang banyak duit.

Kami sedang asyik-asyiknya memilih menu, ketika tiba-tiba teleponku berdering. Oh, itu kawanku rupanya.

“Yu, lu lagi di mana?” terdengar suaranya dengan logat yang khas dari seberang sana.

“Baru makan malem sama saudara-saudara ini. Gimana Koh?”

Iya. Kawanku itu emang lebih tua dari aku. Jadilah aku panggil ‘Koh’ supaya sopan santun.

“Oh, abis itu bisa ketemuan gak? Perlu diskusi nih, tukar pikiran. Lagi pusing gua, hahaha…”

Piye to, lagi pusing kok malah hahaha gitu. Tapi itu aku bilangnya dalam hati aja.

“Sudah ciak belum? Ikutan gabung aja sini sekalian,” begitu aku menawarkan kepadanya.

“Jangan lah, gak enak sama saudaramu”

Ora popo.. Santai aja. Malah jadinya ada yang mbayarin tho..

“Hahahaha… Oke, oke. Dimana?”

Kemudian aku menyebut satu nama restoran di bilangan Jakarta Pusat. Kawanku bilang akan sampai dalam 10 menit kalau jalanan lancar. Dan benar saja, 10 menit kemudian dia sudah muncul di sana. Kehadirannya sendiri cukup mengundang perhatian. Maklum, kawanku itu orang yang lumayan populer di Jakarta. Dia tampak mengangguk dan tersenyum ke sana ke mari dalam perjalanannya ke meja kami.

On time bener kayak delivery Pizza Hut!” kataku sambil menggeser kursi di sebelahku, mempersilakan dia duduk.

“Hahahaha, bisa aja lu! Tadi naik ojek gua, biar cepet,” jawabnya sambil menepuk pundakku.

Aku pun memperkenalkan sanak saudaraku ke dia. Kalo dia sendiri rasanya sudah tidak perlu diperkenalkan, mengingat sosoknya yang sering muncul di media massa tanah air.

“Ayo pesen makan dulu, Koh! Cobain gurami pesmolnya tuh, enak!”

“Sip dah, ngikut aja gua”

Kemudian sambil menunggu makanan datang, kami pun mulai ngobrol-ngobrol.

“Gimana tempat kerja yang baru ini?” tanya dia berbasa-basi.

So far so good. Lu sendiri gimana Koh? Lagi pusing apaan?”

“Ya, biasalah. Urusan politik. Lu uda uda tau kan soal RUU Pilkada?”

“Oh, iya itu. Tau lah. Yang pemilihan kepala daerah mau diganti jadi dipilih oleh DPRD lagi ya?”

Waktu itu kan masih bulan lalu. Jadi ceritanya RUU Pilkada belum disahkan dan belum musim #ShameOnYouSBY.

“Iya itu tuh. Menurut lu gimana?”

“Pada prinsipnya gak ada masalah sih Koh. Karena DPRD itu kan wakil rakyat juga. Jadi mestinya yang dipilih oleh mereka itu mewakili aspirasi kita juga. Nahhh, masalahnya….”

Pembicaraan itu terpotong oleh kedatangan makanan yang kami pesan. Setelah serangkaian adegan heboh ini taruh sana – itu taruh sini – es teh manisnya kurang dua – boleh minta piring lagi mas – dan seterusnya, kami pun menikmati makanan yang dihidangkan itu.

“Enak to guraminya?” tanyaku pada kawanku.

“Mantap!”

“Mau bungkusin seporsi ya, buat nyonyah sama anak-anak di rumah?”

“Eh, gak usah, gak usah. Kam xia. Udah pada makan kok. Oya, tadi sampai mana ngobrolnya?”

“O iya. Sampai ‘nah masalahnya’ gitu Koh, kalo gak salah inget”

“Trus?”

“Trus makanannya dateng tadi”

“Iyeee! Itu gua juga tau! Maksudnya abis ‘nah masalahnya’ itu trus kelanjutannya mau ngomong apa luuu…”

“Ooo, haha. Ampun Koh jangan galak-galak. Nanti dibilang temperamen dan arogan. Hahaha. Oke lanjut. Masalahnya, DPRD itu walaupun wakil rakyat, tapi pada kenyataannya belum tentu mewakili kepentingan rakyat. Kebanyakan ya kepentingan pribadi dan kepentingan partai yang diutamakan. Jadilah kita sewot kalo dipilihin sama mereka”

“Nah itu dia, Yu! Gua pribadi sih juga gak setuju. Tapi masalahnya partai gua mendukung RUU Pilkada itu. Pusing gua”

“Ya bilang sama pak Bos to. Dikomunikasikan baik-baik. Mestinya sih gak papa ya berseberangan pendapat gitu. Wajar kan, namanya juga demokrasi”

“Hmm, iya sih. Karena menurut gua, kalo dipilih sama DPRD jadinya nanti kepala daerah akan sibuk nyenengin DPRD yang uda pilih dia. Semua kebijakannya juga akan liat-liat dulu apakah sesuai keinginan DPRD. Ujung-ujungnya jadi sapi perah. Bukan kerja untuk rakyat!” jelasnya dengan berapi-api sampai diliatin orang-orang di meja sekitar kami.

“Yah, kayak gak tau kelakuan orang partai aja. Karena bagaimanapun ada TAI pada PARTAI. Wajar kalo kadang-kadang mereka tai”

“Huahahaha, bener juga lu. Eh tapi gua kan orang partai juga”

“Iya ding, hahaha. Ya, gak semua orang partai kayak gitu lah. Eh lu gak kepikiran buat mundur dari partai gitu Koh?”

“Nahh, itu dia Yu yang bikin gua pusing juga. Sempet kepikir sih kalo mereka tetep setuju pilkada oleh DPRD, gua akan mundur dari partai”

“Tapi nanti dibilang bajing loncat gimana?”

“Gak mundur pun bisa jadi gua akan dipecat. Lu gak denger beberapa sudah pada teriak-teriak minta gua dipecat dari partai?”

“Wah, gak ngikutin kehidupan lu sampe segitunya sih Koh. Kan gua juga punya kehidupan sendiri”

“Hahahaha… Gebleg. Gini ini yang bikin gua seneng diskusi sama lu”

“Ah jadi malu. Sayang yang ngomong oom-oom”

“Huahahahaha…”

ciak

“Eh lu serius Koh mau keluar dari partai?”

“Hmm, gua ngerasa pengen buktiin kalo orang independen non-partai tetep bisa kerja untuk rakyat dengan baik”

“Ciyeee… anak indie ciyeee”

“Ini serius”

“Ciyeee.. serius ciyeee”

“Woyyyyy!”

***

Itulah kiranya beberapa perbincangan kami pada malam itu. Kawanku pulang duluan mengingat masih banyak kerjaan yang harus dilakukan. Setelah itu saudaraku ada yang bertanya kok bisa kenal darimana.

Iya, baiklah aku jelaskan. Awalnya dia suka baca blog-ku ini. Katanya “sarat makna dan dibawakan dengan menarik”. Aku pun jadi malu. Sayang yang ngomong oom-oom. Semenjak itu kami jadi sering diskusi mulai dari hal-hal yang berat seperti politik sampai yang remeh-temeh seperti foto-foto instagram Syahrini

Kemudian ada juga yang protes kenapa gak bilang dari awal, tau gitu pada pake baju resmi dan bukan kaos oblong semacam itu. Ya sudah mau gimana lagi. Aku juga dikabarinnya mendadak.

Anyway.

Sekitar seminggu setelah itu, kawanku beneran mundur dari partainya. Aku cukup kaget.

Kemudian dua minggu setelahnya, pilkada tidak langsung disahkan di sidang paripurna DPR. Ini aku lebih kaget.

Gelombang protes muncul dimana-mana. Itu bagus. Artinya rakyat sudah melek dan peduli dengan politik di negaranya. Aku sih tidak akan terlalu membahas itu di sini. Sudah banyak yang membahas dengan sudut pandang dan analisanya masing-masing juga.

Kemudian beberapa orang juga sudah mengajukan penggugatan UU Pilkada ini ke Mahkamah Konstitusi. Itu bagus.

Biarkan mereka bekerja. Kita kawal prosesnya, sama seperti kita kawal Pemilu kemarin.

Yang penting fokus pada tujuan, yaitu mengembalikan pilkada langsung.

Jangan sampai hilangnya #ShameOnYouSBY dari trending topic di Twitter mengalihkan perhatian kita dari hilangnya hak suara kita.

Itu aja dari gua.

.

.

.

Lah, kok jadi ikut-ikutan pake gua gitu.

7 pemikiran pada “Makan Malam Bersama Kawan

  1. Buahahahaa
    Finally!!!!! Woyyy Gusss! sejak kapan temenan ama Ahok? tau gitu gue udah sok akrab ama lu dari kapan tauk!

    keren selalu si yuwono ini mah… saking lamanya ga posting, pasti kau tak tau kan abis kasih link blog kece ini di blogiversary kapan tau itu..

    kawal terus, gonggong terus!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s